Oleh: Mulyadi, SHI., M.Sos
Rais Syuriah Majlis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama Kecamatan Pante Bidari
Sekretaris Asosiasi Penghulu Republik Indonesia Kabupaten Aceh Timur
acehvoice.net – Di Aceh Timur, adat bukan sekadar warisan budaya—ia adalah nafas yang menghidupi hubungan sosial, menggenggam nilai, dan menuntun arah hidup masyarakat. Karena itu, ketika Bupati Iskandar Usman Al-Farlaky mengambil inisiatif untuk memperkuat kembali peran Imum Mukim, langkah itu terasa seperti upaya memanggil pulang jejak kearifan yang lama ditinggalkan oleh derasnya arus birokrasi modern.
Ini bukan sekadar kebijakan. Ini adalah ikhtiar untuk menyambung kembali akar adat yang mulai mengering di tengah tuntutan sistem pemerintahan yang semakin teknokratis.
Adat Sebagai Akar, Pemerintahan Sebagai Dahan
Bagi masyarakat Aceh, mukim bukan lembaga pelengkap. Mukim adalah ruang nilai—tempat adat bernaung, tempat sengketa diselesaikan, dan tempat hubungan masyarakat dengan pemerintah menemukan jalan tengahnya.
Dahulu, Imum Mukim bukan hanya pemimpin agama, melainkan tokoh pemersatu: mediator, penata wilayah, penyelesai konflik, dan pengayom masyarakat. Namun seiring perkembangan zaman, posisi itu mulai meredup di tengah hiruk pikuk aturan dan angka-angka pembangunan.
Karena itu, langkah Bupati Al-Farlaky menegaskan kembali peran Imum Mukim ibarat menanam akar baru bagi pohon pemerintahan yang selama ini tumbuh lebih banyak ke arah formalitas daripada makna.
Namun akar tidak akan hidup bila tanahnya keras. Dan faktanya, hubungan antara Imum Mukim, keuchik, serta aparatur pemerintahan di Aceh Timur masih menyisakan kekakuan: ego kelembagaan, minimnya ruang gerak, serta kurangnya pelatihan dan dukungan anggaran.
Kepemimpinan yang Menyambung yang Terputus
Di sinilah harapan masyarakat ditumpangkan kepada Bupati Iskandar Usman Al-Farlaky. Ia diharapkan dapat menjadi jembatan yang menyatukan dua dunia: adat yang sarat nilai dan birokrasi yang menuntut efisiensi.
Kepemimpinan yang memahami akar budaya tidak mudah terjebak dalam retorika. Ia bergerak dari meunasah ke meunasah, mendengar suara rakyat, memahami denyut sosial, dan menimbang kebijakan dengan hati yang berpihak pada masyarakat.
Bayangkan jika setiap gampong memiliki Imum Mukim yang diberdayakan sepenuhnya: terlibat dalam perencanaan pembangunan, menjadi penengah konflik, serta menjadi penjaga harmoni sosial. Dan bayangkan pula pemerintah kabupaten memberikan dukungan penuh—pelatihan, anggaran, dan kekuatan regulasi.
Jika itu terjadi, maka pemerintahan Aceh Timur tidak lagi menjadi sekadar urusan kantor, tetapi gerakan kolektif masyarakat.
Harapan yang Menyala dari Serambi Timur
Yang paling penting, langkah penguatan mukim tidak boleh berhenti sebagai seremoni. Ia harus menjadi proses berkelanjutan, sebuah gerakan yang menegaskan kembali bahwa adat dan pemerintahan bukan dua entitas yang bersaing, tetapi dua kekuatan yang saling melengkapi.
Seperti pepatah Aceh mengatakan:
“Adat ngon hukôm lagee zat ngon sifeut.”
Adat dan hukum itu seperti zat dan sifat—tak bisa dipisahkan.
Jika pepatah itu dijadikan kompas, Aceh Timur dapat menapaki masa depan yang kokoh: pemerintahan yang berakar, pembangunan yang berpihak kepada rakyat, dan identitas Aceh yang tetap terjaga di tengah dunia modern yang terus berubah.[]


























