Acehvoice.net, PIDIE – Gelombang kekecewaan dan protes keras kembali berlanjut disuarakan oleh kalangan pengusaha yang juga mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Kabupaten Pidie.
Mereka menyoroti sistem pelaksanaan proyek-proyek pemerintah daerah yang dinilai tidak transparan, tidak adil, dan secara sistematis menutup peluang partisipasi bagi pengusaha lokal, khususnya yang berasal dari latar belakang eks-kombatan yang memiliki kemampuan dan usaha konstruksi. Isu yang lebih serius mencuat, di mana mereka menuding adanya intervensi beberapa institusi dan lembaga pemerintah yang diduga menjadi beking dalam pengaturan pemenang tender.
Keresahan ini memuncak menyusul pengumuman hasil lelang sejumlah proyek infrastruktur penting yang bersumber dari Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (Perkim) Kabupaten Pidie. Para eks-kombatan menilai bahwa skema pemenang tender menunjukkan pola yang sama, yakni dominasi pihak-pihak tertentu yang terkesan ‘itu-itu saja’ setiap tahunnya.
Proyek Infrastruktur Jadi Sorotan
Dua proyek spesifik yang menjadi pemicu utama kegeraman ini adalah:
1. Proyek “Pengembangan Jaringan Distribusi dan Sambungan Rumah (SR) Gampong Pasi Ie Leubeue, Kecamatan Kembang Tanjong”. Proyek ini dilelang melalui laman LPSE Kabupaten Pidie dan dimenangkan oleh CV Sabee Jaya dengan nilai penawaran sebesar Rp1.217.602.600,- dari pagu anggaran Rp1.230.000.000,-.
2. Proyek di Desa Rungkom Kecamatan Batee senilai Rp3.700.000.000,- yang dimenangkan oleh CV Beurawang Jaya, yang disebut-sebut direktur utamanya adalah inisial NR (BOB).
”Saya selaku mantan kombatan GAM menegaskan bahwa selama ini proyek-proyek pemerintah dikuasai oleh pihak tertentu, hanya yang itu-itu saja. Ini terjadi bukan tanpa alasan. Kami menduga kuat ada tekanan dari oknum pengawal dan pengamanan proyek pemerintah dan masih dugaan sementara, yang seolah bertindak sebagai penentu pemenang tender, tanpa memberi ruang sedikit pun kepada masyarakat lain yang juga memiliki kemampuan di bidang konstruksi, jikalau terbukti, akan kami proses ke tahap lebih lanjut, dan tidak perla mereka bermain-main dengan kekuatan rakyat,” ujar Komandan Ibrahim, salah seorang tokoh eks-kombatan di Pidie, dengan nada tegas saat ditemui wartawan.
Komandan Ibrahim menyoroti bagaimana dugaan intervensi ini telah menciptakan iklim persaingan usaha yang tidak sehat dan cenderung oligarkis, di mana peluang kerja hanya berputar di lingkaran kecil elit tertentu.
Hambatan Pemberdayaan Ekonomi Eks-Kombatan
Permintaan ini sejatinya merupakan perwujudan dari semangat perjanjian damai Helsinki 2005 yang salah satunya berfokus pada reintegrasi dan pemberdayaan ekonomi mantan pejuang GAM. Mereka yang telah bertransformasi menjadi pelaku usaha profesional di sektor konstruksi merasa hak mereka untuk berpartisipasi dalam pembangunan daerah diabaikan.
“Kami meminta kepada pemerintah dan dinas terkait untuk memberi kami kesempatan bekerja. Kami bukan meminta belas kasihan, kami hanya ingin diperlakukan adil. Jangan hanya orang-orang itu saja yang selalu mendapatkan proyek seolah-olah mereka yang paling mampu. Kami juga punya kapasitas dan kapabilitas, kami memiliki perusahaan berskala kecil dan besar, lengkap dengan tenaga kerja lokal yang kompeten,” kata Komandan Ibrahim melanjutkan.
Ia menambahkan bahwa praktik seperti ini secara langsung telah menghambat program pemberdayaan ekonomi yang vital bagi keberlanjutan hidup mantan kombatan dan keluarganya. “Jika begini gaya mainnya, bagaimana kami bisa memberdayakan ekonomi anggota kami? Reintegrasi ekonomi tidak akan pernah berhasil jika kami terus menerus dipinggirkan dari proses pembangunan daerah kami sendiri. Kami juga ingin berkontribusi nyata untuk pembangunan Pidie ini,” tegasnya.
Tudingan Serius Terhadap Oknum Institusi dan Lembaga Pemerintahan
Isu paling krusial yang diungkap oleh para eks-kombatan adalah peran yang diduga dimainkan oleh oknum di beberapa institusi di Pidie. Mereka diketahui telah menggunakan jabatannya untuk menekan dan mengatur proyek-proyek tertentu di sejumlah dinas.
Dalam pernyataannya, para kombatan menyebutkan bahwa praktik ini sudah menjadi rahasia umum, terutama di Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman. Mereka mencontohkan, bahwa semua pengadaan pipa di Dinas Perkim Pidie saat ini dikoordinir oleh BOB inisial NR, Direktur CV Beurawang Jaya, dengan dikendalikan oleh si oknum.
”Bahkan ada semacam ‘ancaman’ terselubung. Kami mendengar kabar bahwa jika ada pengusaha lain yang berani mengambil atau memenangkan proyek yang sudah ‘diatur’, maka perusahaan itu akan diperiksa oleh si oknum ini, disinyalir terlibat langsung. Ini jelas praktik mafia proyek yang meresahkan dan kebal hukum,” ungkap sumber lain yang enggan disebutkan namanya karena khawatir akan adanya tekanan.
Tuduhan ini tidak hanya menyasar Dinas Perkim. Para eks-kombatan mengklaim bahwa dominasi dan intervensi oknum tersebut meluas hingga ke beberapa dinas strategis lainnya di Kabupaten Pidie, seperti Dinas Kesehatan, Dinas Pekerjaan Umum (PU), dan Dinas Pendidikan.
”Oknum tersebut dicap kebal hukum. Oleh karena itu, kami, para kombatan GAM di daerah Pidie yang berkecimpung di dunia kontraktor, memohon dengan sangat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera turun tangan memeriksa dan mengaudit proyek tersebut untuk membongkar jaringan mafia proyek di Pidie. Ini bukan lagi soal persaingan usaha, ini adalah praktik korupsi yang merugikan daerah dan merampas hak masyarakat,” tuntut Komandan Ibrahim.
Harapan pada Pemerintah, KPK & Kejagung RI oleh Para eks-Kombatan GAM di Pidie berharap Pemerintah Kabupaten Pidie, di bawah kepemimpinan Bupati Sarjani Abdullah yang berlatar belakang sama sebagai eks Panglima Gam, dapat segera mengambil tindakan tegas. Mereka mendesak agar sistem lelang dan pengadaan barang/jasa dapat dijalankan secara lebih terbuka, transparan, dan menjunjung tinggi aspek pemerataan ekonomi. Mereka berharap agar ruang gerak bagi mantan kombatan dan pelaku usaha lokal lainnya dapat diperluas untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan.
Hingga berita ini diturunkan, Pihak Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman, Kabupaten Pidie, belum memberikan tanggapan resmi terkait aspirasi dan tudingan serius yang disampaikan oleh mantan kombatan GAM yang diwakili Komandan Ibrahim Pidie. Upaya konfirmasi terhadap instansi si Oknum bekerja, juga belum membuahkan hasil.
Kekecewaan para mantan kombatan ini menjadi alarm keras bagi komitmen pemerintah daerah terhadap implementasi keadilan ekonomi dan pemberantasan praktik kolusi dalam pengadaan proyek daerah, sekaligus menyeret nama institusi penegak hukum ke dalam pusaran dugaan penyalahgunaan wewenang yang harus segera diusut tuntas oleh penegak hukum yang lebih tinggi.
Seharusnya, keterlibatan si oknum baiknya sebagai Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (TP4D), bukan malah ikut menjadi bagian dari pelecehan pembangunan daerah. Yang jelas-jelas bukan tupoksi kerjanya.






















