Oleh: Ibnu Rahmat, S.H., M.H. ( Praktisi Hukum dan Akademisi)
Acehvoice.net – Pemecatan tiga tokoh senior Partai Aceh – Cek Mad, Keuchik Wan dan Ermiadi – bukan sekadar urusan internal partai. Ini adalah cermin buram dari demokrasi yang dipangkas dari akarnya, dari dalam partai itu sendiri. Ketika partai tidak mampu merawat perbedaan pendapat, apalagi menoleransi perbedaan strategi, publik patut curiga bahwa yang diperjuangkan bukan lagi nilai-nilai, melainkan kepentingan personal.
Surat keputusan yang menyebut “ketidakpatuhan terhadap arahan partai” memang terdengar sahih secara administratif. Tapi publik tak sebodoh itu. Di tengah riuh kabar pemecatan, publik juga mencermati satu detail penting: salah satu kader yang dipecat berada di dapil yang sama dengan istri salah satu elite partai. Fakta ini memunculkan pertanyaan serius, apakah pemecatan ini benar-benar soal disiplin organisasi, atau justru bagian dari skenario untuk membuka jalan bagi kepentingan pribadi melalui pergantian antarwaktu?
Narasi resmi yang dibungkus dengan bendera kepatuhan tak akan mampu menutupi aroma manuver politik yang menyengat. Terlebih lagi, pemecatan ini bukan menimpa kader sembarangan. Cek Mad, Keuchik Wan, dan Ermiadi bukan nama-nama yang baru muncul di musim pemilu. Mereka adalah politisi berpengalaman, dengan basis massa yang nyata, dan kontribusi politik yang tak bisa direduksi menjadi angka-angka elektoral semata.
Ini bukan semata drama elite. Ini ancaman serius terhadap demokrasi elektoral. Ketika kader yang telah mengakar di masyarakat justru disingkirkan tanpa mekanisme yang transparan dan akuntabel, yang terkikis bukan hanya legitimasi internal partai, melainkan juga kepercayaan publik yang lebih luas. Dan kepercayaan itu, sekali retak, tak mudah direkatkan kembali.
Kita pun kembali diingatkan bahwa partai politik bukan sekadar kendaraan kekuasaan, melainkan pilar penting dalam konsolidasi demokrasi. Di Aceh, di mana partai lokal lahir dari sejarah panjang perjuangan bersenjata dan perundingan damai, mestinya ada tanggung jawab moral yang lebih besar untuk menjaga integritas dan etika politik. Sayangnya, praktik-praktik seperti ini justru menegaskan apa yang selama ini dikhawatirkan: bahwa partai tidak sedang bergerak ke arah institusionalisasi yang sehat, tapi justru mengalami regresi, menjadi klub tertutup yang dikendalikan oleh segelintir nama yang merasa paling berjasa dan tak bisa dikritik.
Regresi itu terlihat dari cara konflik diselesaikan. Alih-alih membuka ruang dialog, mendengar keberatan, atau membangun musyawarah internal, jalan pintas yang diambil justru adalah pemecatan sepihak. Sikap semacam ini mengingatkan kita pada era-era otoritarian, ketika perbedaan dianggap sebagai pembangkangan, dan kesetiaan hanya diukur dari kesanggupan menunduk.
Lalu, apa pesan yang ingin disampaikan kepada publik Aceh dari langkah ini? Bahwa partai adalah wilayah steril yang tak boleh diwarnai warna lain selain dari lingkaran inti? Bhwa setelah pemilu, ruang demokrasi ditutup rapat dan yang tersisa hanyalah perintah tanpa ruang dialog?
Sangat disayangkan apabila Partai Aceh, yang semestinya merepresentasikan semangat kolektif rakyat Aceh pascakonflik, justru terjerembap dalam pola patronase usang: siapa berada dekat pusat kekuasaan, dia yang dipertahankan; siapa menyuarakan kritik, dia yang disingkirkan. Pola semacam ini bukan hanya mengikis prinsip demokrasi internal, tetapi juga meruntuhkan ekspektasi publik terhadap partai lokal sebagai artikulator autentik aspirasi rakyat Aceh.
Publik Aceh memiliki alasan yang sah untuk mempertanyakan keputusan ini, bukan karena ketiga tokoh yang dipecat adalah figur tanpa cela, melainkan karena proses pengambilan keputusan yang tampak jauh dari prinsip keadilan dan keterbukaan. Ketika demokrasi internal diabaikan, konsekuensinya tidak berhenti pada keretakan internal semata, tetapi juga menggerus kualitas demokrasi di ruang publik. Sebab partai politik yang gagal menjunjung prinsip deliberasi dan partisipasi dari dalam, kecil kemungkinan akan menghasilkan kebijakan yang inklusif dan berpihak pada kepentingan rakyat. Bagaimana mungkin aktor politik yang menganggap perbedaan pandangan sebagai bentuk pembangkangan, dapat dipercaya mengelola aspirasi masyarakat yang plural?
kita tentu tidak menutup mata bahwa politik senantiasa bergerak dalam lanskap yang dinamis. Namun dinamika itu semestinya dikelola dengan kedewasaan politik, bukan dengan paranoia kekuasaan. Memperlakukan partai layaknya milisi yang menuntut kepatuhan mutlak hanya akan menjauhkan rakyat dari semangat kolektif yang dulu pernah diperjuangkan. Menganggap bahwa legitimasi publik akan mengalir semata karena warisan sejarah perjuangan bersenjata adalah kekeliruan strategis yang tidak bisa dibenarkan. Rakyat Aceh hari ini tidak lagi hidup dalam bayang-bayang trauma, mereka hidup dalam ruang harapan, dan harapan itu membutuhkan representasi politik yang rasional, terbuka, dan akuntabel.
Harapan itu akan sirna jika partai terus mengulangi kesalahan yang sama: memonopoli suara kebenaran, dan meminggirkan siapa pun yang tak seirama. Demokrasi bukan koor satu suara. Ia hidup justru karena keberanian untuk bersilang pendapat, untuk bersaing secara sehat, dan untuk menerima bahwa kekuasaan bukan hak turun-temurun yang bisa diwariskan kepada istri, menantu, atau kroni.
Pemecatan ini juga bisa menjadi preseden buruk dalam praktik politik lokal. Jika setiap perbedaan dibalas dengan pemecatan, maka kader-kader muda akan tumbuh dalam ketakutan, bukan dalam keyakinan. Mereka akan belajar bahwa untuk bertahan di partai, yang dibutuhkan bukan ide segar atau keberanian bersikap, melainkan kemampuan untuk membaca arah angin dan menjilat lidah penguasa.
Peristiwa ini sejatinya hanya satu fragmen dari cerita panjang tentang bagaimana partai politik dapat kehilangan substansi ideologisnya. Ketika semangat awal pendirian partai tak lagi menjadi kompas moral, maka kekuasaan yang diperoleh justru menjelma jadi alat reproduksi kepentingan kelompok. Dalam situasi seperti ini, kekuasaan tidak lagi membebani pemiliknya dengan tanggung jawab, tetapi justru menjadi ruang aman bagi ambisi personal.
Pada akhirnya, yang dipertaruhkan bukan sekadar nasib tiga kader, tapi arah masa depan politik Aceh itu sendiri. Jika partai tak mampu lagi menampung perbedaan, menimbang aspirasi, dan merawat diskusi, maka yang akan tumbuh bukanlah kekuatan politik yang matang, melainkan struktur rapuh yang digerakkan oleh ketakutan dan kepatuhan semu. Sejarah telah menunjukkan bahwa kekuasaan yang dibangun tanpa partisipasi pada akhirnya hanya akan menjadi menara gading yang runtuh oleh kesombongannya sendiri. Dan jika partai lokal yang lahir dari rahim perjuangan pun abai pada nilai-nilai demokrasi, kepada siapa lagi rakyat Aceh bisa menaruh harapan?