Acehvoice.net – Isu mengenai kepemimpinan di Bank Aceh semakin mencuat setelah adanya ketidakpastian terkait penunjukan pelaksana tugas direktur utama bank tersebut. Pemimpin Divisi Sekretariat Perusahaan Bank Aceh, Iskandar, menegaskan bahwa tidak ada dualisme kepemimpinan di Bank Aceh.
Namun, masalah ini muncul akibat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang masih mencatatkan M Hendra Supardi sebagai pelaksana tugas direktur utama Bank Aceh.
Konflik Kepemimpinan di Bank Aceh
Hendra Supardi diangkat sebagai pelaksana tugas direktur utama berdasarkan evaluasi Dewan Komisaris Bank Aceh. Keputusan tersebut diambil dengan merujuk pada Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007.
Namun, keputusan ini tidak berlangsung lama. Pada 17 Maret 2025, Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), membatalkan penunjukan Hendra dan mengembalikan Fadhil Ilyas sebagai pelaksana tugas direktur utama. Mualem yang menandatangani surat keputusan tersebut.
Keputusan Gubernur Aceh ini memicu ketegangan dan kebingungan, khususnya terkait dengan OJK yang masih bertahan pada hasil rapat pemegang saham luar biasa yang menetapkan Hendra sebagai pelaksana tugas.
Keberlanjutan ketidaksesuaian antara keputusan OJK dan keputusan gubernur ini menimbulkan spekulasi di kalangan publik dan mengganggu stabilitas internal Bank Aceh.
Dampak Terhadap Kepercayaan Publik
Iskandar menjelaskan bahwa penunjukan kembali Fadhil Ilyas adalah langkah untuk menjaga tata kelola yang baik serta stabilitas operasional Bank Aceh. Hal ini penting untuk memastikan kinerja bank tetap optimal di tengah situasi yang tidak menentu. Namun, masalah administrasi yang belum tercatat dengan jelas oleh OJK mulai meresahkan nasabah dan masyarakat luas.
OJK, sebagai lembaga yang bertugas untuk mencatatkan hasil rapat pemegang saham, seharusnya bisa lebih tegas dan cepat dalam menanggapi perubahan internal di Bank Aceh. Keberlanjutan isu ini berpotensi merusak kredibilitas Bank Aceh sebagai bank milik Pemerintah Aceh yang selama ini dipercaya oleh masyarakat.
Sebagai lembaga yang berperan dalam menjaga stabilitas sektor keuangan, OJK seharusnya lebih berhati-hati dalam mencatatkan perubahan kepemimpinan di lembaga perbankan. Sikap yang ambigu ini dapat mengganggu kepercayaan publik terhadap kredibilitas Bank Aceh, yang pada gilirannya berisiko mempengaruhi kinerja bank tersebut.
Diharapkan OJK bisa lebih proaktif dalam menyelesaikan masalah administrasi ini dan menjaga integritas sektor perbankan, sehingga masyarakat tidak kehilangan kepercayaan terhadap Bank Aceh. Di sisi lain, pemerintah provinsi Aceh perlu memastikan bahwa masalah internal di Bank Aceh bisa diselesaikan dengan transparansi dan profesionalisme, demi kepentingan masyarakat Aceh yang lebih luas.