Acehvoice.net, Banda Aceh – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Aceh, Kamis, 14 November 2024, membacakan tuntutan terhadap dua terdakwa kasus korupsi pengadaan wastafel Dinas Pendidikan (Disdik) Aceh tahun anggaran 2020. Kedua terdakwa tersebut adalah Zulfahmi dan Mukhlis yang masing-masing menjabat sebagai Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) dan Pejabat Pengadaan Barang/Jasa dalam proyek tersebut.
Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Banda Aceh, Jaksa Penuntut Umum menuntut Zulfahmi dan Mukhlis dengan hukuman pidana penjara selama 6,5 tahun serta denda sebesar Rp 500 juta. Jika tidak dapat membayar denda, mereka akan menjalani hukuman kurungan selama enam bulan. Tuntutan ini disampaikan di hadapan majelis hakim yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Zulfikar serta anggota R Deddy Harryanto dan Muhammad Jamil, yang turut mendengarkan pembacaan tuntutan tersebut. Kedua terdakwa hadir dalam persidangan tersebut bersama dengan kuasa hukum mereka.
Kasus Korupsi Pengadaan Wastafel Dinas Pendidikan Aceh
Kasus yang menjerat Zulfahmi dan Mukhlis berawal dari pengadaan wastafel Dinas Pendidikan Aceh pada tahun anggaran 2020, yang seharusnya digunakan untuk memfasilitasi kegiatan pencegahan COVID-19 di seluruh Aceh. Proyek ini direncanakan untuk membangun 401 wastafel di berbagai titik di provinsi tersebut. Anggaran yang dialokasikan untuk proyek ini sebesar Rp 45 miliar.
Namun, dalam pelaksanaannya, hanya 390 wastafel yang berhasil dibangun, sementara 11 wastafel lainnya tidak terealisasi. Selain itu, proyek ini juga dilaporkan menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 7,2 miliar, yang diakibatkan oleh adanya penyimpangan dalam proses pengadaan barang serta dugaan mark-up harga.
Jaksa Penuntut Umum menilai bahwa Muchlis yang menjabat sebagai Pejabat Pengadaan Barang/Jasa terbukti secara sah dan meyakinkan terlibat dalam tindak pidana korupsi bersama-sama dengan terdakwa lainnya. Zulfahmi, yang menjabat sebagai Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), juga dianggap bersalah atas perannya dalam proyek yang berakhir merugikan negara tersebut.
Tuntutan terhadap Zulfahmi dan Mukhlis mengacu pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait peran mereka dalam kasus korupsi tersebut. Jaksa juga menyatakan bahwa kedua terdakwa terlibat dalam pengadaan barang yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, mengarah pada praktik korupsi dalam pelaksanaan proyek tersebut.
Tuntutan Terhadap Tersangka Lain: Rachmat Fitri
Tuntutan terhadap Zulfahmi dan Mukhlis lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan yang diberikan kepada Rachmat Fitri, yang merupakan Pengguna Anggaran (PA) dan mantan Kepala Dinas Pendidikan Aceh. Pada Rabu, 13 November 2024, dalam sidang terpisah di PN Tipikor Banda Aceh, jaksa menuntut Rachmat Fitri dengan hukuman penjara tujuh tahun dan denda sebesar Rp 500 juta, dengan ancaman kurungan enam bulan jika denda tidak dibayar.
Rachmat Fitri didakwa turut terlibat dalam pengelolaan anggaran dan proses pengadaan wastafel, meskipun ia tidak terlibat langsung dalam teknis pengadaan barang. Namun, sebagai Pengguna Anggaran, ia memiliki tanggung jawab besar dalam pengelolaan dana yang digunakan untuk proyek ini. Selain itu, Rachmat Fitri juga dianggap memiliki kewenangan dalam mengawasi jalannya proyek, yang pada akhirnya berujung pada penyimpangan dan kerugian negara yang signifikan.
Dugaan Penyimpangan dalam Pengadaan Wastafel
Proyek pengadaan wastafel Dinas Pendidikan Aceh ini mencuat setelah adanya laporan mengenai ketidaksesuaian antara jumlah wastafel yang dibangun dengan jumlah yang direncanakan dalam anggaran. Beberapa pihak juga mencurigai adanya markup harga dalam pengadaan barang, serta penggunaan anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Penyelidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi Aceh akhirnya mengungkapkan bahwa proyek ini telah menimbulkan kerugian negara yang cukup besar, mencapai Rp 7,2 miliar.
Menurut jaksa, praktik korupsi ini tidak hanya merugikan negara tetapi juga berdampak pada masyarakat Aceh, terutama dalam upaya pencegahan penyebaran COVID-19 yang saat itu sangat membutuhkan fasilitas cuci tangan di berbagai titik strategis. Proyek yang seharusnya mendukung kesehatan masyarakat malah terkontaminasi oleh praktik penyalahgunaan wewenang dan dana negara.
Harapan untuk Penegakan Hukum yang Tegas
Dalam tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum juga mengingatkan pentingnya penegakan hukum yang tegas terhadap setiap pelaku korupsi, terutama dalam proyek-proyek yang menggunakan anggaran negara yang sangat besar. Kasus korupsi seperti ini, kata jaksa, harus menjadi perhatian serius agar tidak ada lagi pihak yang merugikan kepentingan publik dengan cara yang tidak sah.
Majelis hakim yang memimpin sidang ini diharapkan akan memberikan keputusan yang adil dan tegas untuk menindak para pelaku korupsi sesuai dengan hukum yang berlaku, agar memberikan efek jera bagi siapa pun yang berniat melakukan tindak pidana korupsi di masa depan.
Proses Persidangan Selanjutnya
Saat ini, kedua terdakwa, Zulfahmi dan Mukhlis, bersama dengan terdakwa lainnya, Rachmat Fitri, masih menunggu keputusan dari majelis hakim setelah proses pembacaan tuntutan. Majelis hakim akan melanjutkan sidang dengan mendengarkan pembelaan dari para terdakwa dan kuasa hukum mereka sebelum akhirnya menjatuhkan vonis.
Kasus korupsi pengadaan wastafel ini menjadi salah satu contoh penting dalam upaya pemberantasan korupsi di Aceh, di mana publik berharap agar setiap penyimpangan anggaran dapat diungkap dan dihukum sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.