Acehvoice.net – Banda Aceh, Enam mahasiswa di Aceh telah ditetapkan sebagai tersangka setelah diduga terlibat dalam aksi yang memicu kerusuhan di Banda Aceh. Kasus ini bermula dari pemasangan spanduk bertuliskan ‘polisi pembunuh’ di beberapa lokasi strategis di ibu kota Provinsi Aceh. Kapolresta Banda Aceh Kombes Fahmi Irwan Ramli mengungkapkan bahwa tindakan ini merupakan bagian dari rencana untuk menciptakan kerusuhan di kota tersebut.
Pada Jumat, 30 Agustus 2024, Kapolresta Banda Aceh, Kombes Fahmi Irwan Ramli, mengungkapkan bahwa dari 16 orang mahasiswa yang diamankan, enam orang di antaranya telah ditetapkan sebagai tersangka. “Dari 16 orang yang kami amankan, yang dapat kami buktikan perannya masing-masing adalah enam orang,” ujar Fahmi dalam konferensi pers.
Para mahasiswa tersebut diamankan saat mereka terlibat dalam aksi demo di DPR Aceh pada Kamis, 29 Agustus 2024, yang berakhir dengan kericuhan. Demonstrasi ini diikuti oleh mahasiswa dari beberapa kampus di Banda Aceh dan Lhokseumawe. Dalam aksi tersebut, peserta juga membawa sejumlah spanduk, salah satunya bertuliskan ‘polisi pembunuh’.
Selama demonstrasi, para mahasiswa disebut-sebut memblokade jalan, membakar ban, dan memasang spanduk yang mengandung provokasi. Salah satu isu yang disuarakan dalam demo tersebut adalah tentang ‘negara dan aparat merampas ruang demokrasi’. Namun, Kapolresta Fahmi menegaskan bahwa aksi tersebut hanya merupakan kamuflase. “Demo itu hanyalah bungkus untuk menyampaikan aspirasi rakyat. Namun, tujuan sebenarnya adalah menciptakan kerusuhan di Banda Aceh, dan ini tidak bisa kami biarkan,” jelasnya.
Setelah diamankan, enam mahasiswa tersebut dibawa ke Polresta Banda Aceh untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Dalam proses pemeriksaan, terungkap bahwa beberapa mahasiswa asal Lhokseumawe telah tiba di Banda Aceh pada Senin, 26 Agustus 2024. Mereka dilaporkan telah memasang tujuh spanduk di berbagai lokasi di Banda Aceh pada Rabu, 28 Agustus 2024.
Tiga dari spanduk tersebut menuliskan ‘polisi pembunuhan B12’ dan ‘polisi biadab’, yang dipasang di atas jembatan penyeberangan dari arah kantor gubernur menuju Jambo Tape. Selain itu, satu spanduk bertuliskan ‘pelaku pelanggaran HAM di Aceh militer dan negara’ dipasang di Simpang Mesra, Banda Aceh. Fahmi menjelaskan bahwa para mahasiswa ini diduga terpengaruh oleh kelompok Anarko dan memiliki niat untuk menciptakan kerusuhan.
“Ini adalah ancaman serius. Jika kami biarkan, akan berpotensi mempengaruhi kelompok lain di Kota Banda Aceh dan menimbulkan kerusuhan yang lebih besar,” ujar Fahmi. Kapolresta menambahkan bahwa penanganan kasus ini memerlukan sikap tegas untuk mencegah terjadinya konflik lebih lanjut.
Dari 16 mahasiswa yang diamankan, terdapat tujuh orang yang diketahui positif narkoba. Ketujuh mahasiswa ini akan menjalani rehabilitasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Meskipun enam mahasiswa telah ditetapkan sebagai tersangka, mereka tidak ditahan saat ini. Proses hukum akan tetap berlanjut, namun mereka akan dipulangkan jika telah dijemput oleh orang tua, kepala desa, serta pihak kampus mereka.
“Keputusan kami tidak hanya didasarkan pada aksi demo, tetapi juga pada pemasangan spanduk yang berisi ujaran kebencian,” tambah Fahmi. Dia menjelaskan bahwa spanduk-provokasi yang dipasang bertujuan untuk memprovokasi masyarakat agar ikut serta dalam kerusuhan yang direncanakan oleh para mahasiswa.
Pemasangan spanduk-spanduk tersebut, menurut Fahmi, adalah upaya untuk memicu ketidakstabilan di kota dan mempengaruhi masyarakat untuk bergabung dalam aksi kerusuhan. Polisi memastikan bahwa tindakan tersebut tidak akan dibiarkan dan akan ditindak secara hukum untuk menjaga keamanan dan ketertiban di Banda Aceh.
Kasus ini menunjukkan pentingnya pengawasan dan penegakan hukum dalam mengatasi potensi kerusuhan yang timbul dari aksi demonstrasi yang tidak terkontrol. Pihak kepolisian berkomitmen untuk terus memantau dan menindaklanjuti semua bentuk provokasi yang dapat mengancam keamanan publik.
Dengan penegakan hukum yang tegas dan langkah-langkah preventif, diharapkan situasi keamanan di Banda Aceh dapat tetap terkendali dan tidak ada lagi upaya-upaya provokasi yang dapat menimbulkan kerusuhan di masa mendatang.