Acehvoice.net – Sejumlah mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi serta tokoh dan organisasi kemasyarakatan yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi dan Antikorupsi meminta Mahkamah Konstitusi untuk menghadirkan Presiden Joko Widodo dan delapan menteri/pejabat setingkat menteri lainnya di luar empat menteri Jokowi yang sudah dipanggil Mahkamah Konstitusi. Keterangan para pejabat teras di republik tersebut diperlukan untuk melihat gambaran utuh bagaimana proses penyelenggaraan pemilu dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan presiden dan para pejabat pemerintahan.
Seruan agar memanggil para pejabat tersebut disampaikan, antara lain, oleh mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo dan Abraham Samad, mantan pimpinan KPK Saut Situmorang dan Busyro Muqoddas, mantan penyidik KPK Novel Baswedan, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid, Sekretaris Transparency International Indonesia (TII) Danang Widoyoko, Ketua Dewan Penasihat Public Virtue Research Institute Tamrin Amal Tomagola, pakar hukum tata negara Feri Amsari, dan lainnya.
Sementara organisasi yang tergabung dalam penyampaian surat terbuka ke Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut, antara lain IM57+ Institute, LBH AP PP Muhammadiyah, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), dan lainnya.
Dalam suratnya, mereka mengatakan, episentrum dari persoalan Pilpres 2024 ada pada peran dan kebijakan Presiden Joko Widodo. Keseluruhan sikap-sikap Presiden yang tidak semestinya dalam memengaruhi proses pemilu telah memberi keuntungan elektoral bagi pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Terkait dengan hal tersebut, mereka meminta MK untuk menghadirkan Presiden Jokowi ke dalam persidangan sengketa pilpres.
Selain presiden, ada delapan menteri dan pejabat setingkat menteri yang juga diminta dihadirkan, yakni Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Purnomo, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, Jaksa Agung ST Burhanuddin, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, dan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan.
Usman Hamid mengatakan, pihaknya menyadari waktu yang dimiliki MK untuk menyelesaikan perkara sengketa hasil pilpres sangat terbatas atau hanya 14 hari kerja. Namun, pihaknya tetap berharap MK mempertimbangkan permohonan yang disampaikannya demi tercapainya kebenaran material dan keadilan yang bersifat substansial. Pasalnya, peran presiden sentral dalam memengaruhi pemilu melalui penyaluran bantuan sosial (bansos), pengerahan aparatur sipil negara melalui penunjukan penjabat kepala daerah, sampai ketidaknetralan aparat keamanan.
”Jadi, kami memandang keseluruhan masalah yang kami sebutkan itu hanya bisa diungkapkan secara utuh apabila presiden dihadirkan dan dimintai keterangan,” kata Usman.
Hal senada diungkapkan oleh Saut Situmorang. Menurut dia, proses persidangan di MK saat ini seperti tengah mengadili seseorang. ”Kita sekarang sedang mengadili seseorang. Faktanya, kita sekarang sedang mengadili seseorang sebenarnya. Kemudian orang itu tidak hadir di ruang pengadilan. Itu enggak adil, dong. Dia harus hadir di situ. Oke? Saya enggak usah sebut siapa namanya,” ujar Saut Situmorang.
Ditanya tentang pentingnya menghadirkan Menteri Agama, Ghufron dari LBH AP PP Muhammadiyah menerangkan, Yaqut Cholil penting untuk diklarifikasi mengenai adanya informasi bahwa dirinya juga ditarget oleh Presiden untuk memenangkan paslon nomor 2.
”Informasi yang kami dapat, ditarget oleh Presiden untuk bisa memenangkan suara nomor 2 melalui Kementerian Agama sampai di wilayah-wilayah, sampai di KUA. Itu yang perlu dikonfirmasi. Dan, saya kira perlu didengar keterangan dari Pak Menteri Agama ini,” ujarnya.
Sementara itu, Usman menambahkan, kehadiran Jaksa Agung dibutuhkan untuk menerangkan kentalnya nuansa politis dalam penegakan hukum yang dilakukan terhadap salah satunya Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan pemeriksaan menteri-menteri lain. Keterangan Jaksa Agung dapat menguak penggunaan instrumen hukum untuk mengendalikan oposisi atau dinamika oposisi atau aliansi dalam persiapan menuju penyelenggaraan pemilu.
Surat terbuka untuk Ketua MK tersebut diterima oleh Kepala Biro Humas dan Protokol MK Budi Wijayanto. Budi mengungkapkan, pihaknya akan meneruskan surat tersebut kepada majelis hakim MK untuk dipertimbangkan dan diputuskan oleh mereka.
Sumber : Kompas.id