Acehvoice.net, Banda Aceh – Pemerintah pusat telah menetapkan bahasa Aceh dan bahasa Gayo sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTb) Indonesia. Penetapan ini disahkan dalam sidang WBTb yang berlangsung di Jakarta pada Selasa, 27 Agustus 2024. Keputusan tersebut merupakan hasil dari upaya Pemerintah Aceh melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) yang mengusulkan kedua bahasa daerah ini untuk diakui secara resmi sebagai bagian dari kekayaan budaya tak benda Indonesia.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Almuniza Kamal, mengungkapkan rasa syukurnya atas pengakuan tersebut. “Alhamdulillah, upaya Pemerintah Aceh melalui Disbudpar untuk mengusulkan bahasa Aceh dan Gayo sebagai WBTb Indonesia telah diterima dan disahkan oleh pemerintah pusat,” ujar Almuniza kepada Acehvoice, Senin (11/11/2024).
Almuniza menekankan bahwa penetapan bahasa Aceh dan Gayo sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTb) ini harus dijadikan momentum penting bagi masyarakat Aceh untuk semakin melestarikan kedua bahasa daerah tersebut. Ia mengajak seluruh elemen masyarakat untuk berperan aktif dalam menjaga kelestarian bahasa Aceh dan Gayo, baik melalui pendidikan, penelitian, maupun program-program kebudayaan yang ada.
“Kita semua memiliki tanggung jawab untuk melestarikan bahasa daerah ini, tidak hanya sebagai bagian dari komunikasi sehari-hari, tetapi sebagai identitas budaya kita. Disbudpar Aceh siap mendukung berbagai inisiatif yang mendorong masyarakat, terutama anak muda, untuk bangga menggunakan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari,” tambahnya.
Penetapan bahasa Aceh dan Gayo sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia bertujuan untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan kedua bahasa ini sebagai objek pemajuan kebudayaan. Almuniza menyatakan bahwa pengakuan ini menjadi bentuk apresiasi dan pengakuan penting atas kekayaan budaya yang dimiliki oleh Aceh, khususnya dalam konteks bahasa sebagai identitas dan jati diri masyarakat Aceh.
“Bahasa Aceh dan Gayo bukan hanya sarana komunikasi, tetapi juga warisan turun-temurun yang menyimpan nilai-nilai luhur, sejarah, dan kearifan lokal yang sangat berharga,” ungkap Almuniza.
Almuniza berharap agar pengakuan ini dapat menginspirasi masyarakat Aceh untuk lebih mencintai dan menjaga bahasa ibu mereka. Dengan demikian, bahasa Aceh dan Gayo bisa terus lestari dan terjaga hingga ke generasi mendatang.
“Saya berharap masyarakat semakin menyadari pentingnya melestarikan bahasa daerah kita, karena bahasa ini bukan hanya milik generasi sekarang, tetapi juga warisan yang harus diwariskan kepada anak cucu kita,” tambahnya.
Evi Mayasari, Kepala Bidang Sejarah dan Nilai Budaya pada Disbudpar Aceh, menjelaskan bahwa syarat agar sebuah budaya atau tradisi dapat ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia adalah harus berusia minimal 50 tahun atau sudah melalui dua generasi. Selain itu, budaya tersebut juga harus memiliki makna yang penting bagi masyarakat yang memilikinya.
Selain bahasa Aceh dan Gayo, musik tradisional Gayo, yakni Teganing, juga telah disahkan sebagai WBTb Indonesia. Teganing ini disertai dengan dokumentasi video yang dibuat oleh Sanggar Uluh Guel, yang turut mendukung pengakuan terhadap musik tradisional Gayo dari Kabupaten Aceh Tengah.
Setelah penetapan ini, Evi Mayasari mengingatkan pentingnya langkah strategis dalam melestarikan dan menjaga kedua warisan budaya tersebut agar tidak punah atau diklaim oleh pihak lain. “Setelah penetapan WBTb ini, kita perlu terus bekerja keras untuk menjaga dan melestarikan warisan budaya ini agar tidak hilang atau bahkan diklaim oleh negara lain,” tegasnya.
Pemerintah Aceh dan masyarakat diharapkan terus bekerjasama untuk mengembangkan berbagai program yang tidak hanya melibatkan pemerintah tetapi juga masyarakat luas dalam upaya pelestarian bahasa dan budaya lokal.