Acehvoice.net, Jakarta – Pada Kamis, 17 Oktober 2024, Aksi Kamisan ke-836 digelar di depan Istana Merdeka, Jakarta. Dalam aksi ini, para aktivis menyampaikan bahwa mereka tidak akan mengirimkan surat lagi kepada presiden terkait penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Presidium Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) Sumarsih menegaskan bahwa situasi saat ini sangat berbeda dengan janji-janji yang telah disampaikan pemerintah sebelumnya.
Sumarsih mengingatkan bahwa visi dan misi Jokowi, termasuk program Nawacita, berkomitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang telah menjadi beban politik bangsa. Beberapa kasus yang dimaksud antara lain Tragedi Semanggi I dan II, Kerusuhan Mei 1998, serta penghilangan orang secara paksa.
“Namun, hingga saat ini, komitmen tersebut belum terlihat dalam tindakan nyata,” ungkapnya.
Dalam butir Nawacita, Jokowi juga menjanjikan penghapusan impunitas. Namun, menurut Sumarsih, kenyataannya malah berlawanan. Pada periode pertamanya, Jokowi justru mengangkat Wiranto, yang diidentifikasi oleh Komnas HAM sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di tahun 1998 dan peristiwa Semanggi.
“Kami pernah diterima oleh Presiden Jokowi, tetapi itu tidak menghentikan aksi kami. Kami akan terus berjuang untuk kebenaran dan keadilan,” tegasnya.
Menyusul pelantikan presiden terpilih pada 20 Oktober, aktivis mengingatkan bahwa Prabowo Subianto, mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang terlibat dalam penculikan aktivis, akan memimpin pemerintahan.
“Hal ini semakin memperkuat keyakinan kami bahwa perjuangan ini harus dilanjutkan,” tambah Sumarsih.
Sejak awal, JSKK telah mengirimkan 339 surat kepada mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dengan sekitar 29 di antaranya mendapatkan balasan. Dalam pemerintahan Jokowi, mereka mengirim 476 surat, tetapi tidak ada tembusan yang mereka terima, berbeda dengan saat pemerintahan SBY.
“Kami tidak mendapatkan umpan balik yang memadai dari pemerintah saat ini,” ungkap Sumarsih.
Meskipun menghentikan pengiriman surat, para aktivis Kamisan berkomitmen untuk melanjutkan aksi mereka. Mereka masih berharap agar penegakan hukum di Indonesia berjalan sesuai dengan amanat UUD 1945, terutama Pasal 28I Ayat (4), yang menegaskan perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara.
“Sayangnya, hingga kini, pelaksanaan amanat tersebut masih sulit,” kata Sumarsih.
Yati Andriyanti, salah satu aktivis Kamisan lainnya, menambahkan bahwa Presiden Jokowi dianggap gagal dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM. Menurutnya, Jokowi hanya menjadikan isu HAM sebagai alat untuk mendapatkan dukungan politik.
“Jokowi telah memberikan jabatan strategis kepada mereka yang terduga terlibat dalam pelanggaran HAM, yang jelas bertentangan dengan komitmen Nawacita,” ujar Yati.
Mereka menegaskan bahwa jika Indonesia benar-benar negara yang taat hukum, siapa pun presidennya harus mempertanggungjawabkan tindakan yang melanggar HAM.
“Ini bukan soal politik, tetapi soal keadilan bagi korban dan keluarga mereka,” ungkap Yati.
Dalam situasi ini, para aktivis mengharapkan agar presiden terpilih nantinya tidak mengulangi kesalahan yang sama. Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat harus menjadi prioritas bagi pemerintah baru, termasuk menyelesaikan kasus yang telah diakui oleh Jokowi pada 11 Januari 2023.
JSKK berjanji untuk terus melakukan aksi hingga keadilan bagi korban pelanggaran HAM dapat terwujud.
“Kami tidak akan berhenti memperjuangkan hak-hak kami dan akan selalu mengingatkan pemerintah tentang tugasnya dalam melindungi HAM,” tutup Sumarsih.
Dengan berakhirnya pengiriman surat, aksi Kamisan akan menjadi simbol ketahanan dan keberanian masyarakat sipil dalam memperjuangkan hak-hak asasi manusia di Indonesia. Mereka berharap pemerintah baru akan mendengarkan suara mereka dan berkomitmen untuk penegakan hukum yang adil dan berkeadilan.